Panas Membakar Kulit Desa
Akhirnya, setelah bertahun-tahun merantau kekota orang, kembali ke tempat asal merupakan sedikit momen yang ingin kita ulangi sekali lagi. Melihat sawah-sawah hijau, hewan ternak yang melindungi anaknya dari terik panas dan lain sebagainya. Desa merupakan pelarian setiap orang untuk mencari ketenangan dari sibuknya kota.
Namun, kali ini ada yang berbeda. Teriknya matahari tidak lagi terasa hangat seperti dulu, ia membakar, menyengat tanpa ampun. Jalanan tanah yang dulu lembap kini retak-retak, menyerupai keriput bumi kehausan. Petani menatap langit dengan harapan, berharap hujan turun sebagai anugerah yang menenangkan. Tapi awan seakan-akan enggan datang.
Di sudut desa, anak-anak kecil berlari tanpa alas kaki, kulit mereka yang kecokelatan semakin gelap karena panas yang mengigit. Di tepi sawah, seorang kake duduk di bawah pohon rindang yang tak lagi serindang dulu. "Dulu, panas tidak sekejam ini," gumamnya pelan.
Panas bukan sekedar suhu; ia menjadi simbol perubahan yang perlahan merenggut kehangatan masa kecil yang dulu kita kenal. Dan di sinilah kita, menyaksikan bagaimana kampung halaman yang dulu damai, kini bergulat dengan perihnya perubahan iklim.
Aku pun berdiri di bawah matahari, membiarkan kulitku yang pucat menyerap vitamin D yang selama ini tak pernah aku dapatkan di kota. Di sana, aku tak pernah punya waktu untuk menengadah ke langit, yang ada hanya asap knalpot dan debu jalanan, bercampur dengan virus yang tak terlihat. Paru-paruku sesak bukan karena panas, tapi karena udara yang penuh polusi.
Tapi di sini, di desa kecil yang dulu menenangkan, panas seakan berbicara. Ia mengingatkan bahwa dunia berubah, kadang terlalu cepat, kadang terlalu keras. Dan aku bertanya dalam hati, apakah yang aku cari selama ini di kota sebanding dengan yang aku tinggalkan di sini?
Panas tidak hanya membakar kulit, ia membakar kenangan secara perlahan, tetapi pasti.
Komentar
Posting Komentar